Palembang, – Dalam diskursus hukum pidana di Indonesia, asas Dominus Litis menjadi topik hangat perbincangan, terutama dengan adanya Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP).
Prof Dr La Ode Husen SH MH M.Hum, seorang pakar hukum pidana terkemuka, memberikan sorotan tajam terhadap asas ini, mempertanyakan apakah Dominus Litis merupakan asas hukum yang murni atau justru menjadi alat politik di tangan penguasa.
Prof La Ode Husen menjelaskan bahwa Dominus Litis, yang secara harfiah berarti “penguasa perkara”, menempatkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebagai figur sentral dalam proses penuntutan perkara pidana.
Asas ini memberikan otoritas yang luas kepada JPU untuk menentukan arah dan jalannya perkara pidana, mulai dari menerima dan meneliti berkas perkara dari penyidik, menentukan apakah perkara tersebut layak dilimpahkan ke pengadilan, hingga melakukan penuntutan di depan hakim.
Bahkan, dalam beberapa kasus, JPU juga memiliki kewenangan untuk menghentikan penuntutan jika tidak terdapat cukup bukti atau jika perkara tersebut tidak memiliki kepentingan umum.
“Dominus Litis ini adalah jantungnya sistem peradilan pidana,” tutur Prof La Ode Husen, saat diwawancarai Tribrata TV, Rabu (19/2/25).
“Tanpa adanya JPU yang kuat dan independen, proses penegakan hukum akan menjadi tidak efektif dan rentan terhadap intervensi dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab,” ujar mantan anggota Kompolnas RI 2 periode, 2006-20012.
Namun, Prof La Ode Husen mengingatkan bahwa kewenangan yang besar ini harus diimbangi dengan tanggung jawab yang besar pula.
JPU harus bertindak profesional, objektif, dan tidak memihak dalam menjalankan tugasnya.
Jangan sampai kewenangan Dominus Litis disalahgunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
“Kewenangan Dominus Litis ini sangat strategis,” kata Prof La Ode Husen.
“Jika tidak dikelola dengan baik, dapat berubah menjadi alat politik yang sangat berbahaya,” tegasnya.
Prof La Ode Husen menyoroti beberapa potensi penyalahgunaan Dominus Litis sebagai alat politik.
Misalnya, penguasa dapat memanfaatkan kewenangan JPU untuk menekan lawan-lawan politiknya dengan cara mengkriminalisasi mereka melalui proses hukum yang tidak adil.
Atau, penguasa dapat menggunakan Dominus Litis untuk melindungi kroni-kroninya yang terlibat dalam kasus pidana.
“Ini yang sangat saya khawatirkan,” ujar Prof La Ode Husen dengan nada tegas.
“Dominus Litis ini seharusnya menjadi alat keadilan, bukan alat penindas,” tegasnya.
Lebih lanjut, Prof La Ode Husen juga menyoroti RUU KUHAP yang di dalamnya terdapat penguatan asas Dominus Litis.
Menurutnya, penguatan ini perlu dikaji secara cermat dan hati-hati. Jangan sampai penguatan Dominus Litis justru memberikan kekuatan yang terlalu besar kepada Kejaksaan, sehingga berpotensi melahirkan kesewenang-wenangan.
“Kita tidak ingin Kejaksaan menjadi super power,” tegas Prof La Ode Husen.
“Kekuasaan yang terlalu besar pada satu institusi dapat mengancam demokrasi dan rule of law,” imbuhnya.
Prof La Ode Husen juga menekankan pentingnya pengawasan yang ketat terhadap kinerja JPU.
Menurutnya, harus ada mekanisme pengawasan yang efektif untuk memastikan bahwa JPU menjalankan tugasnya sesuai dengan hukum yang berlaku dan kode etik.
Pengawasan ini dapat dilakukan oleh internal Kejaksaan, maupun oleh pihak eksternal seperti Komisi Kejaksaan atau masyarakat.
“Pengawasan ini sangat krusial untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang,” kata Prof La Ode Husen.
“Tanpa pengawasan, Dominus Litis bisa berubah menjadi alat politik yang sangat merusak,” ucapnya dengan nada khawatir.
Di akhir perbincangan, Prof La Ode Husen mengajak semua pihak untuk lebih kritis dalam menanggapi isu Dominus Litis dan RUU KUHAP.
Ia berharap masyarakat dapat lebih proaktif dalam mengawasi proses pembentukan dan implementasi RUU KUHAP, demi terciptanya sistem peradilan pidana yang lebih baik dan berkeadilan.
“Kita semua memiliki tanggung jawab untuk menjaga agar Dominus Litis tetap menjadi asas hukum yang murni,” pungkas Prof La Ode Husen.
“Jangan sampai Dominus Litis berubah menjadi alat politik yang digunakan untuk kepentingan kekuasaan semata,” tutupnya.

Kepala Perwakilan Wilayah Sumatera Selatan (Sumsel)
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.